Kamis, 21 Januari 2010
Manifesto Bandung Death Fest 4 -17 Oktober 2009, Sabtu Lap.Yon Zipur 9 Ujungberung, Bandung
Semuanya berawal dari sebuah kondisi ketidak jelasan dan kegamangan kami mensikapi kenyataan. Ketika mereka berbicara tentang rencana kota ini dijadikan sebagai proyek ‘Kota Kreatif ’. Ketika mereka asik berbagi teori dan argumen tentang bagaimana seharusnya membangun ‘kota kreatif yang bermartabat’, sementara persoalan mendasar di level akar rumput sama sekali tidak mereka sentuh.
Kamis 15 Oktober 2009 pukul 1.09…dan saya yakin akan terjadi sebuah perubahan besar dalam hidup saya dan kawan-kawan lainnya di Ujungberung. Terhitung mulai hari ini hingga dua hari kedepan kami akan berjumpa kembali dengan sebuah pertarungan antara hidup dan mati. Pertarungan menyangkut idealism dan keyakinan. Sebuah pertempuran besar yang mungkin hanya akan dicatat oleh individu-individu yang sadar akan pentingnya sebuah catatan sejarah. Sejarah senyap yang mungkin juga tidak bernilai apa-apa bagi kebanyakan orang. Hanya menjadi dongeng biasa yang sifatnya selintas dan sepi makna.
Pagi ini kembali saya harus merapal keyakinan. Bersama senyap, rintik hujan dan kepul asap rokok. Keyakinan yang sama seperti 15 tahun yang lalu. Merangkai cita-cita yang masih sama seperti saya masih terdampar di jalanan. Sederhana saja cita-cita kami. Kami hanya ingin bermain musik dengan tenang, berkumpul, berteman, berbagi informasi dan ilmu pengetahuan. Menyalurkan ekspresi kami dengan aman.Menjadi bagian dari aneka warna-warni pelangi.
Dan keyakinan itu semakin menguat tatkala ditengah jalan kami mengalami banyak hambatan. Cita-cita itu justru semakin menguat tatkala kami berjumpa dengan kawan-kawan yang bernasib sama. Bahwa kami di cap biang perusuh dan ekspresi budaya kami dianggap mempunyai potensi ancaman bagi peradaban mapan. Bahwa event yang selama ini kami gelar dianggap sama dengan event-event lainnya yang berorientasi pada keuntungan dan selalu melibatkan sponsor-sponsor korporasi besar.
Bahwa apa yang kami buat selama ini lebih berorientasi kepada ‘mewadahi’ potensi energi kreatif yang ada dalam komunitas kami. Mencoba menghias wajah kota dengan ekspresi estetika. Wajah kota yang kini sudah sumpek oleh papan megatron dan aneka rupa bilboard.
Dalam hal ini tentu saja potensi kreatif di bidang musik. Bukankah semua itu sudah seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah? Itu pun jika memang kami masih menganggap bahwa pemerintah itu ada. Konser-konser yang biasa kami gelar adalah murni swadaya dan kolektif untuk menghindari kooptasi terhadap kultur yang sudah kami bangun dengan susah payah. Menciptakan pilihan-pilihan baru dan sikap-sikap alternatif. Etos kemandirian yang coba kami wujudkan dalam berbagai sisi kehidupan.
Hingga hari ini kami masih yakin dan percaya pada cita-cita kami. Hari ini kami merasa makin kuat dan tak bisa dikalahkan oleh apapun. Kami tahu mereka sedang menyiapkan sesuatu untuk kami. Aturan yang mengekang kebebasan berekspresi, hukum yang lebih memihak para pemodal dan aparat bermental korup dan diskriminatif.
Sel-sel klandestin yang sudah lama terbentuk hari ini kami aktifkan kembali. Jaring-jaring perlawanan yang mendominasi dihampir sudut kota ini kita bangunkan kembali. Solidaritas dan nilai pertemanan yang kuat kita galang kembali. Kali ini kami buat lebih massif, lebih seporadis dan lebih simultan Semua atas nama hasrat dan kecintaan. Kecintaan pada bagaimana caranya kita lepas dari dunia yang sangat membosankan ini. Lewat sebuah ekspresi budaya yang telah sanggup membebaskan kita dan memberi pemaknaan yang berbeda pada hidup ini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar