"Panceg dina galur, Salawasna akur jeung dulur, Panceg dina galur, Babarengan ngajaga lembur, Panceg dina galur, Moal ingkah najan awak lebur.." (Jasad - Kujang Rompang )

Ya, mungkin lagu itu yang menggambarkan apa yang harus digerakkan oleh komunitas musik underground kota Bandung agar tetap konsisten. Tidak seperti dua atau tiga tahun kebelakang, para musisi-musisi bawah tanah sekarang agak kesulitan untuk mengaplikasikan hasil karya mereka sejak kejadian Sabtu Kelabu itu. Dan yang bisa dilakukan hanyalah bersama-sama melawan kejamnya birokrasi, mengikis stigma negatif dari kalangan masyarakat,dan dapat mewujudkan program kota Bandung sebagai "Bandung Emerging Creative City".

Berikut ini hanyalah artikel basa-basi yang diringkas oleh saya yang mungkin bisa mengisi waktu kalian semua. Meskipun tulisan-tulisannya agak panjang, saya harap kalian bisa mencerna pesan yang disampaikan oleh artikel-artikel tersebut.
Read well & enjoy.....

by : Qyo Ignacio Saucedo

Closehead -Berdiri Teman


Rocket Rockers - Ingin Hilang Ingatan


Beside - 7 Deadly Sins


Burgerkill - Shadow of Sorrow


Jasad - Kujang Rompang


Senin, 25 Januari 2010

Deklarasi Skinhead Menentang Rasisme


Kalian pasti sering ngeliat sekumpulan anak muda yang berkepala botak plontos, berjalan memakai sepatu boots dan berjaket dengan beberapa tempelan emblem. Mereka kerap dikenal dengan sebutan Skinheads. Apa sih sebenernya Skinhead itu? Fashion sajakah? Atau benar-benar gaya hidup? Mau tau penjelasannya mending kita simak penelusuran saya kali ini.

Awalnya, saya sempet mikir kalo Skinhead tuh berasal dari negeri Jerman. Kayaknya Skinhead nih influence pemikiran rasis yang dibentuk dalam gaya hidup dan tren anak muda pada zaman Hitler.

Apalagi setelah nonton film American History yang menceritakan kehidupan kaum Skinhead di Amerika sana. Dalam film tersebut seolah diceritakan bahwa Skinhead adalah sekelompok anak muda yang sangat membenci bangsa kulit hitam. Sekelompok anak muda yang digambarkan dengan kelakuan brutal, bengis, dan berbagai penyiksaan yang dilakukan terhadap bangsa kulit hitam.

Weitt, ternyata simpulan awal saya salah total! Hampir saja saya mengubah perkembangan sejarah murni Skinhead. Skinhead yang saya anggap rasis tersebut ternyata bukan asli budaya Skinhead. Skinhead yang rasis tersebut hanya sekumpulan anak muda yang dimanfaatkan oleh sekumpulan pihak dan kepentingan tertentu.

Selidik punya selidik ternyata Skinhead merupakan subbudaya anak muda yang lahir di Inggris pada tahun 1960-an. budaya tersebut berasal dari perpaduan kehidupan pemuda Jamaika (rude boy) dan kaum Moods. Alhasil, karena mereka senang berkumpul dalam tempat nongkrong yang sama. "Dengan kebiasan nakal pemuda saat itu serta kesukaan yang sama terhadap musik ska dan musik berirama two tones. Akhirnya lahirlah musik Oi! Dan komunitas Skinhead," ucap Iyay, gitaris Sanfranskins.

Namun sejak mulai bermunculan kaum imigran di Inggris, seperti bangsa Pakistan, Cina, dan imigran Asia lainnya. Beberapa kaum Skinhead di Inggris memusuhi kaum imigran tersebut. Mungkin bila dilihat dalam film "Romper Stomper " pemicu kebencian kaum skinhead adalah karena para Imigran tersebut dianggap telah merebut lahan pekerjaan yang ada di Inggris.

Memasuki tahun 1960 akhir, sebenarnya konflik kaum Skinhead dengan para imigran tersebut masih dikatakan taraf biasa. Komunitas Skinhead tidak tergabung dalam gerakan politik rasial apa pun. Namun, ketika memasuki tahun 1970-an beberapa kaum Skinhead yang memusuhi kaum imigran tersebut mulai memasuki pergerakan nasionalis ekstrem, seperti National Front, British Movement, Rock Against Communism, dan Blood and Honour. Dalam image seperti inilah kemudian budaya kaum Skinhead mulai terkikis menjadi pergerakan politik berpakaian Skinhead.

Ups, jadi teringat percakapan saya bersama Iyay. Cukup panjang lebar juga Iyay bercerita mengenai perkembangan komunitas skinhead di Bandung sendiri, bahkan sampai masalah persoalan tali sepatu boots yang dianggap simbol rasis dalam Skinhead. "Skinhead itu sebenarnya bukan gerakan Neo-Nazi atau gerakan politik apa pun. Adapun pencitraan rasis. Itu hanya pemanfaatan penyebaran isme dalam pencinta musik Oi! Dan Skinhead," Ucap Iyay

Cukup menarik juga bukan? Ayo kita kembali menelisik sejarah Skinhead! Setelah cukup lama skinhead dicitrakan sebagai pergerakan politik rasis, akhirnya kira-kira pada tahun 1988 di Kota New York Marcus Pacheco beserta teman-temannya mendeklarasikan Skinhead Against Rasial Prajudice (S.H.A.R.P.) hal tersebut mewakili kaum Skinhead yang sudah mulai muak dengan rasisme dan pergerakan politik ekstrem dalam komunitas Skinhead. Kemudian pada tahun 1989 Roddy Moreno, personil The Oppressed berkunjung dan bertemu dengan anggota S.H.A.R.P., sepulangnya kembali ke Inggris. Ia mulai menyebarkan S.H.A.R.P. kepada komunitas Skinhead di Inggris.

Yah, seperti itulah perkembangan Skinhead yang mulai dikenal dengan kaum neo-nazi, akhirnya terselamatkan dengan asosiasi S.H.A.R.P. Sedikit cerita mengenai perkembangan Skinhead di Kota bandung sendiri. Perkembangan budaya tersebut menurut Juki, gitaris Renternir, menyebar tanpa terorganisasi secara sengaja dalam kehidupan anak muda saat ini. Pengetahuan anak muda Bandung sendiri mengenai Skinhead berawal dari media online (internet), yang kemudian mengalir dari pembicaraan mulut ke mulut dan menjadi salah satu perkumpulan subculture musik underground di Kota Bandung.

"Kami mah tetap menghargai roots dan budaya asli sendiri. Perkembangan Skinhead di tiap negara mungkin berbeda. Hal itu disesuaikan dengan budaya yang dimiliki negara masing-masing."

"Punk", Antara Gaya Hidup dan Ideologi


MENDENGAR kata punk, asosiasi bisa mengembara ke mana-mana. Punk sebagai aliran musik dengan ketukan cepat sebagai hasil gebukan snare drum yang rapat, serta distorsi menggila. Ideologi kemandirian yang kemudian merambah ke berbagai bidang. Hingga simbol-simbol perlawanan yang justru muncul dari sejarah punk sebagai subkultur.

Kendati demikian, ada satu ciri yang tak mungkin bisa dilepaskan. Ketika nama punk disebutkan, pikiran pasti tertuju pada rambut Mohawk ala suku Indian, dan detail fashion yang menyertai. Atau, potongan ala feathercut yang diwarnai dengan warna-warna terang, sepatu boots, rantai, dan spike (gelang atau aksesori berjeruji), patches (tambalan), jaket kulit, celana jeans ketat dengan warna luntur, serta mengenakan baju lusuh.

Tak sulit menemukan orang dengan identitas seperti ini di Bandung. Terlebih lagi saat ini, ketika punk tak hanya bertemu secara komunal di satu tempat. Adapun titik yang disebut-sebut memiliki basis anak punk yang dominan, terdapat di Ujungberung, Dewi Sartika, Cimahi, Sarijadi, Lembang, dan lain-lain.

Berawal dari musik


Punk mulai merambah Bandung sekitar tahun 1984. Saat itu, baru segelintir orang yang menjadi penikmat musik punk. Dengan media terbatas, punkers hanya bisa mendapatkan pasokan dari majalah dan kaset. Anak-anak punk masa itu biasanya berkumpul di tempat yang mereka sebut PI, (ada yang menyebutkan istilah ini sebagai Pasar Induk, sebutan untuk mal pertama di Bandung. Ada juga yang menyingkat dari Plasa Indah) yang berlokasi di belakang mal Bandung Indah Plaza (BIP).

Di kemudian hari, tepatnya 1996, intensitas perkumpulan yang cukup tinggi membuat beberapa dari mereka mendirikan Riotic Records, label yang mewadahi scene bermusik punk rock. Setahun kemudian, label recording merambah ke distro.

Salah satu pendiri Riotic, Dadan "Ketu" Ruskandar menyebutkan, tahun 1989 merupakan tonggak awal dimulainya acara gigs punk rock di Bandung. "Acaranya saya lupa, tetapi waktu itu ngadainnya di SE, anak-anak yang ngadain ngidolain Sex Pistols," ucap Ketu saat ditemui di tokonya, Jln. Sumbawa 61 Bandung, Senin (13/4) malam.

Baru pada rentang waktu antara 1990-1994, komunitas punk sedikit demi sedikit mulai terbentuk, bersamaan dengan maraknya permainan skateboard di Taman Lalu Lintas Bandung. Namun, rentang waktu 1994-1999, disebut Ketu sebagai masa keemasan punk. Saat itu, punk sebagai percabangan dari scene underground, banyak digilai anak muda Bandung.

"Nah 1999, mulai hancur deh, gara-gara krismon," ujar Ketu, yang pada 1999 membuat satu beraliran punk rock, Kontaminasi Kapitalis . Hal tersebut disebabkan melonjaknya harga sehingga menghalangi mereka untuk melakukan korespondensi dengan punkers luar negeri. Padahal dalam dekade itu, sulit untuk memenuhi kebutuhan terhadap fashion punk. Untuk mencari spike saja, misalnya, harus menunggu kiriman dari luar negeri.

"Do it yourself!"

Bicara tentang filosofi punk, rasanya tak bisa dilepaskan dari hal yang satu ini, "DIY" (kependekan dari do it yourself, artinya semua hal dikerjakan sendiri). Semangat yang dianut tersebut tak lepas dari sejarah punk yang diadopsi dan juga menyangkut ideologi sosial dan politik.

Mulanya, punk tumbuh subur pada pertengahan dekade 1970-an di Inggris, akibat ketidakpuasan kelas pekerja terhadap sistem negara yang membelenggu. Sistem kerajaan yang dianut, membuat jurang hierarki yang besar antarmasing-masing kelas.

Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana, namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak. Situasi ekonomi dan politik membuat kaum punk menjadi pemendam jiwa pemberontak (rebellious thinkers).

Nama grup band Sex Pistols kemudian tak bisa dilepaskan dari sejarah pertumbuhan ideologi punk. Pada 1977, mereka merilis single "God Save The Queen", yang isinya menggegerkan kerajaan dan mayoritas masyarakat masa itu. Simak saja lirik dari single tersebut yang awalnya berjudul "No Future" ini. God save the queen/ She ain`t no human being/ And there`s no future/ In England`s dreaming//

Begitulah, punk kemudian menjadi salah satu pelampiasan terhadap rasa frustasi, kemarahan, dan kejenuhan berdamai dengan negara. Tak ada nada-nada rock dengan kualitas tinggi, atau melodi menyayat untuk mencerminkan suasana hati. Akibatnya, punk banyak dicap sebagai musik dan rock beraliran kiri sehingga perkembangannya terasa dibelenggu arus mainstream.

Keadaan tersebut justru membuat gerakan punk yang semakin masif, tumbuh menjadi budaya tandingan (counter culture) dari musik rock `n roll yang sedang mapan. Tak ada jalan lain, kecuali menumbuhkan kemandirian dan melakukan semuanya sendiri. "DIY jadi budaya dalam punk, walaupun memang perkembangannya jadi semakin melebar," ucap Ucay, vokalis Rocket Rockers yang sudah mengamati punk sejak dekade 1990-an.

DIY yang dimaksud, berkembang menjadi semangat independen. Lewat spirit tersebut, berbagai pergerakan mulai dilakukan. Seperti dalam hal ekonomi (mendirikan distro, recording, dan indie label), dan dalam hal pemikiran. Berangkat dari nihilisme, mayoritas punkers mulai menemukan filosofi punk.

"Kalau tahun 1996 ke bawah mah memang anak-anak dipersatukan karena musik, ya kalau ngumpul kayak gimana sih, paling nongkrong-nongkrong ala Indonesia lah, lebih banyakan yang enggak ada gunanya. Berangkat dari nihilisme itu, sekitar tahun 1999 anak-anak mulai pada pinter, mereka mulai baca buku-buku tentang filosofi punk, jadi punya basic pengetahuan yang lumayan tentang punk," kata Ucay, yang bersama teman-temannya dalam Rocket Rockers pernah masuk dalam film sejarah punk sedunia, "Punk`s Not Dead The Movie", 2006 lalu.

Tak hanya itu, penilaian punk dalam melihat suatu masalah dapat dilihat melalui lirik-lirik lagunya yang bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial, bahkan agama.

"Kalau ngomong pendirian tentang punk, wah itu paling susah, gue aja misalnya punya satu pendirian, tetapi setelah sepuluh tahun kemudian bisa berubah, malah bisa bertentangan. Sama aja kayak karena kebanyakan kiri, jadi ada yang malah mau ke kanan. Ya sekarang mah ambil rootsnya punk aja, be yourself aja," ujar Ucay.

Minggu, 24 Januari 2010

BURGERKILL


Burgerkill adalah sebuah band Metal Hardcore yang berasal dari kota Bandung. Nama band ini diambil dari sebuah nama restaurant makanan siap saji asal Amerika, yaitu Burger King, yang kemudian oleh mereka diparodikan menjadi "Burgerkill".

Burgerkill berdiri pada bulan Mei 1995 berawal dari Eben, seorang gitaris Jakarta yang pindah ke Bandung untuk melanjutkan sekolahnya. Dari sekolah itulah Eben bertemu dengan Ivan, Kimung, dan Dadan sebagai line-up pertamanya. Band ini memulai karirnya sebagai sebuah side project, just a bunch of metal kids jamming their axe-hard sambil menunggu band orisinilnya dapat panggilan manggung. Tapi tidak buat Eben, dia merasa bahwa band ini adalah hidupnya dan berusaha berfikir keras agar Burgerkill dapat diakui di komunitasnya.

Ketika itu mereka lebih banyak mendapat job manggung di Jakarta melalui koneksi teman-teman Hardcore Eben, dari situlah antusiasme masyarakat underground terhadap Burgerkill dimulai dan fenomena musik keras tanpa sadar telah lahir di Indonesia. Walhasil line-up awal band ini pun tidak berjalan mulus, sederet nama musisi underground pernah masuk jajaran member Burgerkill sampai akhirnya tiba di line-up solid saat ini.

Ketika mereka berhasil merilis single pertamanya lewat underground fenomenal Richard Mutter yang merilis kompilasi cd band-band underground Bandung pada awal 1997. Nama lain seperti Full Of Hate, Puppen, dan Cherry Bombshell juga bercokol di kompilasi yang berjudul "Masaindahbangetsekalipisan" tersebut. Memang masa itu masa indah musik underground. Everything is new and new things stoked people! lagu Revolt! dari Burgerkill menjadi nomor pembuka di album yang terjual 1000 keping dalam waktu singkat ini. Pada akhir tahun 1997 mereka kembali ikut serta dalam kompilasi "Breathless" dengan menyertakan lagu "Offered Sucks" didalamnya.

Awal tahun 1998 perjalanan mereka berlanjut dengan rilisan single Blank Proudness, pada kompilasi band-band Grindcore Ujungberung berjudul "Independent Rebel". Yang ketika itu dirilis oleh semua major label dengan distribusi luas di Indonesia dan juga di Malaysia. Setelah itu nama Burgerkill semakin banyak menghias concert flyers di seputar komunitas musik underground. Semakin banyak fans yang menunggu kehadiran mereka diatas panggung. Burgerkill sang Hardcore Begundal!

Pada awal tahun 1999, mereka mendapat tawaran dari perusahaan rekaman independent Malaysia, Anak Liar Records yang berakhir dengan deal merilis album Three Ways Split bersama dengan band Infireal (Malaysia) dan Watch It Fall (Perancis). Hubungan dengan network underground di Malaysia dan Singapura berlanjut terus hingga sekarang. Burgerkill menjadi langganan cover zine independent di negara-negara tersebut dan berimbas dengan terus bertambahnya fans mereka dari negeri Jiran.

Di tahun 2000, akhirnya Burgerkill berhasil merilis album perdana mereka dengan title "Dua Sisi" dan 5000 kaset yang di cetak oleh label indie asal Bandung, Riotic Records ludes habis dilahap penggemar fanatik yang sudah tidak sabar menunggu sejak lama. Di tahun yang sama, band ini juga merilis single "Everlasting Hope Never Ending Pain" lewat kompilasi "Ticket To Ride", sebuah album yang benefitnya disumbangkan untuk pembangunan sebuah skatepark di kota Bandung.

Beberapa Mainstream Achievement pun sempat mereka rasakan, salah satunya menjadi nominator Band Independent Terbaik ala majalah NewsMusik di tahun 2000. Awal tahun 2001 pun mereka berhasil melakukan kerjasama dengan sebuah perusahaan produk sport apparel asal Amerika: Puma yang selama 1 tahun mensupport setiap kali Burgerkill melakukan pementasan. Dan sejak Oktober 2002 sebuah produk clothing asal Australia yang bernamaINSIGHT juga mensupport dalam setiap penampilan mereka.

Sebuah kejutan hadir pada pertengahan tahun 2004, lewat album "Berkarat" Burgerkill masuk kedalam salah satu nominasi dalam salah satu event Achievement musik terbesar di Indonesia "Ami Awards". Dan secara mengejutkan mereka berhasil menyabet award tahunan tersebut untuk kategori "Best Metal Production". Sebuah prestasi yang mungkin tidak pernah terlintas di benak mereka, dan bagi mereka hal tersebut merupakan sebuah tanggung jawab besar yang harus mereka buktikan melalui karya-karya mereka selanjutnya.

Akhirnya mereka sepakat untuk merilis album ke-3 "Beyond Coma And Despair" di bawah label mereka sendiri Revolt! Records di pertengahan Agustus 2006. Album ketiga yang memiliki arti sangat dalam bagi semua personil Burgerkill baik secara sound, struktur, dan format musik yang mereka suguhkan sangat berbeda dengan dua album sebelumnya. Materi yang lebih berat, tegas, teknikal, dan berani mereka suguhkan dengan maksimal disetiap track-nya.

Namun tak ada gading yang tak patah, sebuah musibah terbesar dalam perjalanan karir mereka pun tak terelakan, Ivan sang vokalis akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya ditengah-tengah proses peluncuran album baru mereka di akhir Juli 2006. Peradangan pada otaknya telah merenggut nyawa seorang ikon komunitas musik keras di Indonesia. Tanpa disadari semua penulisan lirik Ivan pada album ini seolah-olah mengindikasikan kondisi Ivan saat itu, dilengkapi alur cerita personal dan depresif yang terselubung sebagai tanda perjalanan akhir dari kehidupannya.

Akhirnya setelah melewati proses Audisi Vokal, mereka menemukan Vicki sebagai Frontman baru untuk tahap berikutnya dalam perjalanan karir mereka. Dan pada awal Januari 2007 mereka telah sukses menggelar serangkaian tour di kota-kota besar di Pulau Jawa dan Bali dalam rangka mempromosikan album baru mereka.

Target penjualan tiket di setiap kota yang didatangi selalu mampu mereka tembus, dan juga ludesnya penjualan tiket di beberapa kota menandakan besarnya antusiasme masyarakat musik cadas di Indonesia terhadap penampilan Burgerkill.

Jumat, 22 Januari 2010

WALK TOGETHER, ROCK TOGETHER: A CONCERT BY ALONE AT LAST*


Dan mereka pun dengan bangga mengaku sebagai anak Emo.

Alone At last adalah sebuah band yang terbentuk pada tahun 2003 dengan formasi awal Abok [vokal], Athink [drum], Bahe [gitar/backing vocal], dan Indra [bass]. Mereka telah merilis dua album di bawah perusahaan rekaman Absolute Records: EP Sendiri vs Dunia [2004] dan Jiwa [2008]. Dua album itu, menghasilkan hits seperti ”Amarah Senyum” dan “Air Mata”. Berkat kedua album tersebut Stand Alone Crew–sebutan bagi fans Alone At Last–tersebar di berbagai kota di Indonesia seperti Bandung, Jakarta, Bekasi, Tangerang, Bogor, Surabaya, Bali, Jogja, Medan, Banjarmasin, dan Makasar. Hal ini terlihat dari tawaran untuk menghibur para fans di kota-kota tersebut yang tak kunjung henti.

Selama kurun waktu itu, telah terjadi pergantian personil di tubuh Alone At Last. Abok berhenti karena kesibukannya sebagai PNS, sedangkan Indra Papap keluar menyelesaikan kuliahnnya di Australia. Dan formasi terkini Alone At Last terdiri dari dari Yas [vokal], Ubey [bass], Ucay, Athink [drum], dan aditional player Davit [gitar].
Album Jiwa adalah hasil dari formasi terkini. “Album ini sangat bersejarah bagi band kami, karena hadirnya para personil baru yang memberikan warna baru bagi musik Alone At Last,“ kata Athink soal perbedaan album terbaru bandnya dibandingkan dengan album sebelumnnya. Album Jiwa merupakan sinergi dari personil lama dengan personil baru. Kontibusi Ucay memberikan harmonisasi yang inovatif dalam membuat lagu dan jika mendengarkan album ini akan terasa perbedaan nuansa dalam setiap lagu.

Sabtu, 5 Desember 2009, pukul tujuh malam, mereka mengadakan konser tunggal yang diberi judul “Walk Together, Rock Together.” Konser ini merupakan konser pertama Alone At Last setelah tujuh tahun berkiprah di ranah musik indie. Teater tertutup Dago Tea House, dipilih untuk melaksanakan konser karena memiliki kenangan yang bersejarah bagi mereka. Mereka pernah sepanggung dengan Burgerkill pada saat acara ulang tahun Burgerkill.

“Walk Together, Rock Together” adalah kutipan kalimat yang selalu dipegang teguh oleh para personil dan tim management Alone At Last. Konser tunggal ini adalah target utama band di tahun ini selain mengerjakan album berikutnya. “Kami selalu mementingkan kebersamaan dan kekeluargaan. Kami sangat menghargai dan mendukung band-band lain sekalipun mempunyai musik yang berbeda dengan band kami, kan kita sama-sama menyukai bermusik!” kata Yas soal kutipan kalimat tersebut.

“Persiapan konser ini hanya sekitar satu bulan,” ujar Kikio Nugraha, manager Alone At Last. “Kami tidak menyebarkan pamflet untuk mempromosikan konser ini, kami lebih banyak bergerak di dunia maya seperti Facebook dan MySpace,” Yas menambahkan. Bagi Alone At Last mentalitas yang kuat adalah modal yang paling penting untuk persiapan konser tunggal pertama mereka.”The S.I.G.I.T,, Pure Saturday atau Fall Out Boy aja bisa konser, kenapa kita juga nggak bisa?” kata mereka.

Kira-kira pukul delapan malam, venue mulai dipadati oleh penonton. Para anggota Stand Alone Crew—sebutan untuk penggemar Alone At Last—yang sudah hadir sejak pukul tujuh, setia menanti konser dimulai. “Kami ingin tahu bagamana setelah tujuh tahun bermusik, apakah para fans kami masih dapat mengapreasiasikan musik kami dengan baik dan bersenang-senang dengan kami,” kata Yas.

Ketika tirai panggung dibuka para penonton berteriak histeris. Semua personel band memakai kaos berwarna putih yang bertuliskan “Alone At Last Yes, We Are Emo”. “Malam Minggu yang indah bukan?” Yas menyapa penonton setelah melakukan aksi pembuka. Pada lagu ketiga kaos tersebut akhirnya dibuka oleh semua personel lalu dilemparkan ke penonton. Alhasil para Stand Alone Crew saling berebutan merchandise langka tersebut karena hanya ada lima buah dan otomatis sudah dicuci oleh keringat asli dari idola mereka.

Ternyata bukan hanya Krisyanto bekas vokalis Jamrud yang memakai toa untuk bernyanyi, Yas juga memakai alat yang sama untuk bernyanyi. Di tengah konser sang vokalis memperkenalkan gitar barunya yang diberi nama Coki. “Hai Coki!” Yas mengajak penonton berkenalan dengan gitar barunya sambil beradegan seperti mengobrol dengan gitarnya seolah-olah gitar tersebut adalah benda hidup.
Yas, memang piawai bekomunikasi dengan penonton. Dia menghibur penonton dengan aksinya yang atraktif sehingga penonton tidak bosan dengan aksinya dan penasaran dengan apa yang akan dilakukannya. Para personel yang lain pun tampil dengan energik sehingga menghasilkan aksi panggung yang spektakuler. Singalong dari penonton terus berkumandang hampir di setiap lagu sambil tak henti melakukan moshing .

Pada saat lagu “Me, Peace, and War” mereka diiringi oleh kuartet orhestra. Penonton melambai-lambaikan tangan ke atas sambil menyalakan korek api atau lampu dari ponsel mereka. Aksi panggung dilanjutkan dengan saling bertukarnya posisi para personel. Athink yang tadinya menggebuk drum maju ke depan panggung dan meraih mik untuk bernyanyi. Setelah membawakan 20 lagu yang diambil dari album pertama dan kedua serta beberapa materi lagu yang belum pernah dirilis sebelumnya termasuk lagu-lagu baru, akhirnya “Walk Together, Rock Together” konser pertama Alone At Last ditutup dengan encore yang menampilkan Owang vokalis band Beside.

Kamis, 21 Januari 2010

BANDUNG INDIE SCENE


Awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang menjadi cikal bakal scene rock underground di sana. Namanya Studio Reverse yang terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel “Masaindahbangetsekalipisan.” Band-band indie yang ikut serta di kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal Jakarta.

Band-band yang sempat dibesarkan oleh komunitas Reverse ini antara lain PAS dan Puppen. PAS sendiri di tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka yang bertitel “Four Through The S.A.P” ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya. Tragisnya, di awal 1995 Marudut ditemukan tewas tak bernyawa di kediaman Krisna Sucker Head di Jakarta. Yang mengejutkan, kematiannya ini, menurut Krisna, diiringi lagu The End dari album Best of The Doors yang diputarnya pada tape di kamar Krisna.

Sementara itu Puppen yang dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu pionir hardcore lokal yang hingga akhir hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga album yaitu, Not A Pup E.P. (1995), MK II (1998) dan Puppen s/t (2000). Kemudian menyusul Pure Saturday dengan albumnya yang self-titled. Album ini kemudian dibantu promosinya oleh Majalah Hai. Kubik juga mengalami hal yang sama, dengan cara bonus kaset 3 lagu sebelum rilis albumnya.

Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan menemukan sebuah komunitas yang menjadi episentrum underground metal di sana, komunitas Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang banyak berjasa membesarkan band-band underground cadas macam Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, Burger Kill dan sebagainya. Di sinilah kemudian pada awal 1995 terbit fanzine musik pertama di Indonesia yang bernama Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah vokalis band Sonic Torment yang memiliki single unik berjudul “Golok Berbicara”. Revograms Zine tercatat sempat tiga kali terbit dan kesemua materi isinya membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional.

Kemudian taklama kemudian fanzine indie seperti Swirl, Tigabelas, Membakar Batas dan yang lainnya ikut meramaikan media indie. Ripple dan Trolley muncul sebagai majalah yang membahas kecenderungan subkultur Bandung dan jug lifestylenya. Trolley bangkrut tahun 2002, sementara Ripple berubah dari pocket magazine ke format majalah standar. Sementara fanzine yang umumnya fotokopian hingga kini masih terus eksis. Serunya di Bandung tak hanya musik ekstrim yang maju tapi juga scene indie popnya. Sejak Pure Saturday muncul, berbagai band indie pop atau alternatif, seperti Cherry Bombshell, Sieve, Nasi Putih hingga yang terkini seperti The Milo, Mocca, Homogenic. Begitu pula scene ska yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum trend ska besar. Band seperti Noin Bullet dan Agent Skins sudah lama mengusung genre musik ini.

Siapapun yang pernah menyaksikan konser rock underground di Bandung pasti takkan melupakan GOR Saparua yang terkenal hingga ke berbagai pelosok tanah air.


Bagi band-band indie, venue ini laksana gedung keramat yang penuh daya magis. Band luar Bandung manapun kalau belum di `baptis’ di sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah Bandung paling legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya beberapa rock show fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung Underground. Jumlah penonton setiap acara-acara di atas tergolong spektakuler, antara 5000 – 7000 penonton! Tiket masuknya saja sampai diperjualbelikan dengan harga fantastis segala oleh para calo. Mungkin ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga saat ini di Indonesia untuk ukuran rock show underground.

Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia yang pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan di kota ini. Belum lagi majalah Trolley (RIP) dan Ripple yang seakan menjadi reinkarnasi Aktuil di jaman sekarang, tetap loyal memberikan porsi terbesar liputannya bagi band-band indie lokal keren macam Koil, Kubik, Balcony, The Bahamas, Blind To See, Rocket Rockers, The Milo, Teenage Death Star, Komunal hingga The S.I.G.I.T. Asli, kota yang satu ini memang nggak ada matinya!

SCENE HARDCORE LOCAL, ANTARA KEPALSUAN DAN KETULUSAN

The dirty forces has already be continued ! Ini hanya sebuah tulisan basa-basi yang akan membuat saya bebas ngalor-ngidul tanpa batas sampai akhirnya bisa merasa lega. Penting untuk dicamkan terlebih dahulu ini hanyalah sebuah opini, tidak lebih. Tidak semuanya sehati atau sejalan denganmu, bahkan tak tertutup kemungkinan ada yang menyinggung perasaanmu. Wajar, at least I have something to say. Oke, saya sudah memberitahu kriterianya, oleh karena itu tidak ada yang perlu dimaafkan ! Peduli atau tak peduli, ehm.. lebih baik peduli !
Oh ya, sedikit melihat kembali ke edisi awal 'zine ini, ada yang membuat saya sedikit sadar disertai sejuta tawa di hati. Nggak apa-apa, kesalahan itu hal yang wajar. Proses untuk belajar tak akan pernah selesai, karena pada dasarnya manusia tidak sempurna. Kita hanya bisa berbuat yang terbaik, toh walaupun tak pernah luput dari kesalahan. Harus ada yang mendegungkan kepala ini supaya tidak terus menerus 'beku'. Langsung menuju topik, tapi diawali secuil materi tentang D.I.Y = do it yourself = lakukan sendiri olehmu. Dari yang saya baca di salah satu edisi katalog Lost & Found Records yang secara kebetulan mereka membuat terjemaahannya ke dalam berbagai bahasa di dunia, dua diantaranya d.i.y diartikan 'jadilah dirimu sendiri' dan 'buatan sendiri'. Lho, kok bisa ada dua arti ? Jadi yang satunya lagi bahasa mana ? Apakah bukan bahasa Indonesia ? Jelas sekali ini bahasa Indonesia, mengapa d.i.y diterjemaahkan ke dalam dua pengertian ? Maksudnya mungkin satu di antaranya adalah bahasa Malaysia (Melayu), tapi yang mana ? Au ah, gelap ! Bule geblek ! Rupanya Lost & Found merasa bangga karena sudah dipercaya oleh kids di Indonesia dan Malaysia selaku distributor utama rekaman-rekaman hardcore dari seluruh penjuru dunia, oleh sebab itu perlu sekali untuk menterjemaahkan do it yourself ke dalam dua bahasa, yaitu Malaysia dan Indonesia. Indonesia dan Malaysia adalah negara yang berbeda, tapi mengenai bahasa, Lost & Found mungkin tidak tahu kalau kita masih satu rumpun jua dengan Malaysia. Perlu koreksi ?
Kalau terjemaahan versiku, d.i.y = lakukan sendiri olehmu... biar gampang ! Betul ? Koreksi lagi ! Terus sebenarnya sama makna dengan 'jadilah dirimu sendiri' dan 'buatan sendiri', hasil publikasi katalog Lost & Found itu. Lakukan sendiri olehmu, sebuah filosofi yang mengajak kita untuk membudayakan produk buatan sendiri, karena hanya di dalam aktifitas seperti ini kamu bisa merasa jadilah dirimu sendiri, bukan menjadi bayangan dari image orang lain, plagiator, dan akhirnya tak pernah percaya diri. Mengabaikan lebih detil tentang latar belakang d.i.y yang sebenarnya sudah dicetuskan sejak lama oleh para musisi hardcore / punk, baru-baru ini saya mengalami suatu 'kebingungan' yang aneh setelah melakukan korespondensi dengan beberapa pen pals di Perancis, Belgia dan Malaysia. Sengaja saya menulis surat kepada orang-orang yang betul-betul perhatian dan peduli dengan scene, walaupun umumnya terlalu sinis menanggapi perkembangan di dalamnya atas indikasi komersialisasi, ketrendi-trendian, mental crew, terlalu tipikal, kurang revolusioner dan alasan-alasan pribadi lain. Pure d.i.y attitude ! Ya, nggak masalah, asal saya bisa bertukar pikiran dan bisa memperoleh lebih banyak wawasan. Informasi yang selama ini saya dapatkan terlalu minim dan cekak, walhasil tidak ada perkembangan. Syukur-syukur saya bisa mempromosikan scene lokal tercinta, kalau mereka tertarik ! Tak baik terus-terusan penasaran dengan rilisan-rilisan baru band favorit atau band-band upcoming yang sedang 'menggemparkan' di beberapa perusahaan rekaman, sedangkan CD-nya saja nggak kebeli. Entah kalian setuju atau tidak, suatu saat dirimu akan mengalami stagnasi dengan hardcore / punk, jadi berpikirlah untuk sebuah solusi. Dunia masih banyak pilihan !
Lanjut. Sama sinisnya dengan mereka, sebagai orang yang sok tahu dan sok akrab, saya pertama-tama menulis surat dengan isi juga penuh kesan pesimistis terhadap scene lokal (karena 'ya, saya juga punya kesan pesimis, di samping optimis.. tapi maaf, saya tidak pernah menjelek-jelekan suatu pihak tertentu karena ini hanya masalah perasaan saja). Jujur saja, apa yang saya tulis itu menceritakan secara sepintas tentang hardcore kids di sini yang perhatian sekali ke baju-baju band-band favoritnya, sedangkan ke lirik dan pesan-pesannya agak kurang. Atau kalau bukan itu, mungkin ke musiknya saja sehingga kesannya hardcore lebih tentang 'musik, produk dan fashion' mahal ketimbang tentang sebuah ekspresi, gaya hidup atau sebuah pergerakan seperti yang selalu diucapkan oleh setiap kids. Untuk basa-basi yang lain, juga menyebutkan band-band yang sering saya dengarkan sekalian sebagai referensi data diri. Akhirnya setelah dua bulan berlalu, tibalah surat balasan itu yang ternyata isinya tidak terlalu banyak basa-basi seperti suratku dulu. Saya membaca dengan hati-hati, takut ada yang terlewat. Dan benar, dia seorang yang masih komit terhadap keorisinalan etik d.i.y dan tak takut mengakui dirinya tergolong 'radikal'. Seperti orang-orang yang sama, kata-kata sinis terhadap scene yang menurutnya sudah 'mati' juga dituliskan. Tetapi yang mengagetkan semua band favoritku tak ditanggapi dengan kata-kata yang baik. Menurutnya mereka sudah begitu komersil dan di'konsumtif'kan di dalam scene. Dia juga menganjurkan untuk memboykot perusahaan rekaman tersebut beserta band-bandnya. Ya maksudnya untuk seterusnya jangan lagi mendengarkan dan membeli rekaman-rekamannya, karena sebenarnya masih ada puluhan band-band dan label-label lain yang tak kalah mutu, masih tetap menjaga attitude dan dedikasinya untuk tetap real, bukan untuk 'menjual' sound dan atribut asal bisa laku keras dibeli oleh para hc kids. Dari segi musiknya dia meminta saya untuk menyebutkan apa yang saya inginkan agar bisa memberikan alamat-alamat yang bersangkutan. Bukan tipe yang moderat, tapi ternyata baik hati ?
So apa yang harus saya katakan selanjutnya sebagai balasan untuk mereka-mereka ? Ya, terus terang saya mensupport sekali apa yang terjadi dengan scene d.i.y selama ini, karena mereka telah memberikan apa saja yang sebelumnya tidak pernah saya dapatkan yaitu komunikasi yang tulus dan tukar pikiran. Ketika saya bertanya, mereka memberikan jawaban dan ketika saya mendapat kesulitan, mereka memberikan bantuan. Sama sekali berbeda bila komunikasi itu dengan beberapa perusahaan rekaman besar beserta band-bandnya yang terbilang sudah sangat akrab 'tune'-nya di telinga. Mereka seperti tak menanggapi apa adanya, malah kerap tidak membalas balik. Tanpa disadari mereka telah mengabaikan para fans beratnya, yang telah tipu sana tipu sini mengumpulkan uang untuk bisa membeli CD atau t-shirtnya. Ingat pepatah kuno 'tanpa kalian, kita bukan apa-apa'. Bukan berarti memberi nilai minus atas ambisi sebagian dari kita yang telah berlomba-lomba mendapatkan magazine katalog terbaru, CD promo, postcard, atau sticker dari label-label hardcore tersebut, komunikasi dengan orang-orang ini membuat saya berpikir : bila sekarang label-label kebanggaan scene bersikap seperti itu, apa faedahnya komunikasi yang kalian para pecinta scene jalin dengan mereka ? Apakah kalian masih terus tenang-tenang saja ini terjadi di keluarga besar scene hardcore kebanggaan ? Apa makna slogan-slogan seperti unity... brotherhood... respect... atau true till death yang telah dinyanyikan oleh ratusan band-band hardcore di hatimu ? Tentunya bukan sekedar lirik yang bagus ! Janganlah buta, kita semua masih perlu ketulusan dan keikhlasan. Itulah hardcore ! Ketika kamu sudah bersusah payah membuat surat berbahasa Inggris yang panjang dengan harapan mendapat jawaban lebih detil, tetapi kok hasilnya nihil karena balasan yang datang selalu berupa katalog, tidak ada long letter seperti punyamu. Atau kalau bukan katalog ya stiker atau postcard. Maksud hati ingin bertukar pikiran untuk menambah wawasan tetapi malah diajak untuk mengkonsum. Sebuah semangat hardcore ya ? Mungkin kita bukanlah sebuah brotherhood, unity, respect, atau equality lagi, tetapi sekedar penikmat musik biasa, tak beda dengan penikmat musik komersil yang lain. Di berbagai kesempatan waktu, kita telah banyak tertipu dan percaya saja pesan-pesan sakral yang tertulis dalam berbagai advertising hardcore. Atau memang benar, hardcore telah 'mati' seperti yang dikatakan para pen pals tadi ?
Ah, saya belum ingin memikirkan hal ini terlalu jauh. Ternyata melihat kenyataan di sekitar, scene lokal masih terbilang sangat muda bila semua sepakat bahwa komunitas hardcore mulai ada sejak awal dekade 90-an ini. Itu untuk ukuran di kota Bandung atau di Jakarta. Bagaimana kalau di daerah ? Di scene yang masih bingung siapa itu Minor Threat, siapa itu Agnostic Front, siapa itu Earth Crisis, bahkan siapa itu Limb Bizkit. Ha, ha,... belum 10 tahun, teman ! Sedangkan di Eropa sendiri perkembangannya tak terlalu jauh dengan di U.S., yaitu sejak awal dekade 80-an. Ditambah waktu proses untuk terbentuknya sebuah subculture, mereka berevolusi sejak tahun 60-an. Jadi sebenarnya punk atau hardcore di sana tidak begitu saja ada, seperti di sini. Mereka terlebih dahulu mengalami suatu proses yang sangat panjang dan melelahkan (lebih jelasnya baca Hardcore/punk sebuah essay oleh Arian13, editor Tigabelas). Negara Amerika Serikat itu sudah tergolong sangat tua umurnya, kira-kira 200-an tahun lebih. Sudah ada berbagai revolusi hidup dialami oleh rakyatnya. Semenjak perang saudara, dekade industrialisasi, perang dunia kedua, rockn'roll dan flower generation-nya, kebudayaan pop, komputer, internet.. mereka telah menguasai sebagian besar ideologi kehidupan di muka dunia ini. Figur-figur favoritmu dari sana ya ? Kemudian di Eropa sendiri ada revolusi-revolusi seperti yang telah diajarkan oleh guru sejarahmu sewaktu di bangku sekolah (kalian masih SMU, coba buka lagi bukunya !), seperti revolusi industri di Perancis dan Inggris atau runtuhnya komunisme di Eropa timur, di samping proses merembetnya kebudayaan Amerika ke sana. Munculnya kaum-kaum suburban pinggiran yang rata-rata pengangguran karena tersisih dari persaingan, para pemuda hispanik, gelandangan, kaum intelek miskin... di situlah tune-tune bising, cepat, energik, dan sangar terlahir, seperti yang telah kamu dengarkan sehari-hari. Kesimpulannya, hardcore dan punk itu bagian dari sebuah resistensi dalam kehidupan, tak bisa dipungkiri lagi. Kalau di Indonesia kemudian bermunculan scene hardcore, scene punk, band straightedge, band anarcho, band oi!, skinhead.. apa mau dikata. Generasi muda memang tak pernah berhenti mencari identitas !
Kembali menyinggung ke masalah pen pals tadi, sekedar menyadari, isu seputar konsep d.i.y yang sudah diburamkan sehingga mereka perlu untuk berbuat 'radikal' merupakan rentetan revolusi scene yang sambung menyambung setelah sekian lama. Mereka sudah lama hidup dan berkecimpung dalam scene, sementara kita belum ada apa-apanya. Jadi wajar saja mereka bersikap seperti itu, jangan kita nilai sebagai indikasi yang aneh. Hardcore adalah sebuah bentuk perlawanan yang revolusioner bagi sejumlah orang. Selama masih ada ketidakpuasan, mereka akan tetap mengekspresikannya tanpa beban. Entah itu sebatas kebencian atau memboykot, apa saja asal mempunyai sikap. Bila ternyata banyak label dan band yang sudah tak tulus dan ikhlas dengan hardcore, hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, mengajak kita untuk mengkonsum, sudah sewajarnya bila muncul orang-orang yang kritikal. Membuat hidup penuh alternatif pilihan adalah baik sekali. Tanpa disadari, para pen pals itu telah menciptakan dan memelihara sebuah gaya hidup alternatif. Kalau kamu tidak mensupportnya, sekedar terinspirasi tak apa-apa. Pokoknya asal kita tidak buta. Janganlah mencemooh temanmu yang mencoba menyuarakan hatinya. Anarkisme, straightedge, kebebasan binatang, lingkungan hidup, melawan aparat.. semuanya disuarakan dari hati nurani, bukan sok-sokan. Mereka juga berusaha melahirkan sebuah alternatif.
Di tengah-tengah kesibukan kita ke sana ke sini untuk membangun scene lokal yang masih muda ini, jangan lupa untuk membuka hati dan belajar memilih. Ada benarnya, label-label dan eksistensi band-band hardcore yang ada selama ini juga patut kita pertanyakan. Hardcore kids lebih suka image, klise, produk, fashion daripada sebuah attitude. Kita masih harus berpikir lebih dalam dan tak henti untuk mengedukasi diri. Scene kita tercinta ini tidak terlahir melalui proses yang panjang, karena itu di Indonesia mungkin tak ada sebuah subculture yang mendasari pergerakan hardcore dan punk. Jujur saja, pertama saya mendengar nama 'hardcore' pada tahun 1993 karena Puppen sedang naik daun di Bandung dan banyak yang bilang mereka itu memainkan hardcore. Nah, yang terjadi dengan para hardcore kids generasi baru mungkin sama. Dengan pengulangan-pengulangan kejadian yang sama, sampai betul-betul terlupakan dari mana akarnya. Tak hanya fakta di Indonesia, saya yakin ini juga terjadi di Eropa atau U.S. Tak tahu dan tak mengerti prosesnya, itulah yang masih terus mengganjal kita semua. Sementara scenester senior sudah bosan dengan kata-katanya sendiri, the new kids on the street-nya tak pernah peduli. Jangan sampai terjadi ! Kita masih ingin terus membangun scene hardcore... untuk kalian yang merasa sama, speak loud : hardcore as fuck !
Presiden baru telah terpilih, bukan berarti kita telah berevolusi. Di Indonesia belum pernah terjadi sebuah revolusi sejak tahun '45, yang ada hanyalah langkah transisi/reformasi. Sejak jaman kemerdekaan sampai detik ini ada filosofi dan dogma hidup yang mungkin belum berubah, walaupun sudah banyak orang yang menggenggam handphone di sana sini. Hardcore dan punk lokal terus berkembang walaupun tak pernah berakar dari proses transparan sebuah revolusi. Secara perlahan kita ciptakan revolusi 'semu' tersendiri, yang tak akan bisa dihentikan oleh siapapun. Suka atau tidak suka kita bukanlah bagian dari mainstream, terimalah apa adanya. Kita bukan Limb Bizkit, kita bukan Korn, kita bukanlah Deftones ! Hardcore ya hardcore, bukan musikmu, bukan pakaianmu, bukan gayamu, bukan siapa itu kamu. Di iklim yang katanya lebih demokrasi ini, mainkan hardcoremu dengan perasaan, dengan emosi, dengan hati, sampai kamu merasa puas dan lega. Janganlah khawatir tidak ada yang bertepuk tangan, tidak ada yang mosh, tidak ada yang po go, tidak ada jumping around, karena hardcore bukanlah tentang itu. Hardcore adalah ekspresimu, idea-ideamu, mediamu, jiwamu ! Kalau kamu merasa ditolak oleh masyarakat, jangan goyahkan identitasmu. Tuangkan ide-idemu dalam hardcore ! Kebencian, sosial politik, emo, tangisan, kesedihan, drug free, vegan, tak ada batasan ! Malah kalau kamu bisa membagi ide-ide dengan teman-temanmu, bagus sekali. Hardcore itu ketulusan, bukan kepalsuan !

NEMESIS HISTORY


NEMESIS diawali dengan berdirinya Tears Came Falling yang pada saat itu masih membawakan Post Hardcore dengan line up Rangga, Sendy, Regha, Sahid, Ridwan 'Dei'. Selang beberapa tahun setelah Tears Came Falling berdiri, Sahid memutuskan untuk fokus pada studinya sebagai mahasiswa Seni Rupa ITB, sehingga Rangga harus menjadi Guitar player sekaligus Vocal pada saat itu.

Merasa jenuh dengan situasi band pada saat itu, diputuskanlah untuk mencari sorang manajer untuk mengurus keadaan internal dan segala hal mengenai Tears Came Falling. Tidak lama kemudian masuklah Adit sebagai manajer Tears Came Falling, selain itu juga Adit adalah sebagai manajer Beside.

Pembenahan secara besar-beasran dilakukan oleh Adit mulai dari sistem keuangan, riders, event schedule, merchandise dan segala hal yang mendukung manajemen band. Pada saat inilah dilakukan sejumlah brainstorming untuk menentukan perencanaan dan pengembangan band, termasuk genre dan karakter yang akan dibentuk nantinya. Adit merasa nama Tears Came Falling tidak terlalu pas dengan genre yang akan diusung yaitu Metal dan nama itu sendiri sulit untuk diingat oleh masyarakat, sehingga melalui proses yang cukup panjang didapatlah nama NEMESIS yang berarti pembalasan terhadap ketidakadilan, selain itu juga ditentukan sebagai awal dari berdirinya NEMESIS (26 September 2007).

NEMESIS terbentuk dengan line up awal Rangga (vox&guitar), Sendy (Guitar), Regha (Bass), Ridwan (Drum). Pada tanggal 18 November 2007 lagu Angkara direkam di studio “Funhouse" di daerah cicaheum sebagai materi pertama NEMESIS, ternyata respon terhadap lagu tersebut cukup baik di masyarakat dan komunitas Underground di kota Bandung.

Setelah berjalan selama 3 bulan dirasakan bahwa line up tersebut terasa kurang, dikarenakan Rangga merasa kesulitan untuk membagi posisinya sebagai giutar player dan vocalist. Akhirnya diputuskan untuk merekrut guitar player baru agar Rangga lebih fokus dalam mengolah vocalnya, pilihan pun jatuh kepada Yodi 'ojod' Januarsyah yang merupakan teman dekat Sendy sewaktu SMA. Dengan line up tersebut mulailah NEMESIS menjajal gigs pertamanya di kota Bandung pada awal januari 2008 di acara anak UNISBA. Setelah gigs tersebut tawaran untuk main di beberapa acara di kota Bandung pun berdatangan.

Tidak disangka demo Angkara tedengar hingga ke telinga Yayat Ahdiyat yang merupakan produser dan sound enginner dari band ujungberung yaitu BURGERKILL. Setelah Mr. Yayat mendengarkan demo tersebut dia tertarik untuk memproduseri NEMESIS dan akhirnya dia pun menjadi produser NEMESIS hingga saat ini.

Kabar gembira tidaklah selalu bertahan untuk waktu yang lama, beberapa show yang seharusnya dilakukan NEMESIS pada bulan februari terpaksa batal karena tragedi sabtu kelabu di AACC 9 Februari 2008, selain itu juga kejadian tersebut membuat manajemen NEMESIS berantakan karena Adit (manajer) dinyatakan sebagai penanggung jawab terrhadap kejadian tersebut. Kejadian tersebut sangat memukul band begitu juga komunitas pada saat itu. Beberapa planning yang telah direncanakan terancam gagal, begitu juga kegiatan komunitas underground di kota Bandung dibatasi. Akibat dari kejadian tersebut manajemen NEMESIS harus diurus oleh para personelnya sendiri dan juga proses pembuatan materi untuk album pertama yang rencananya akan dirilis akhir tahun 2009 menjadi tersendat. Tetapi kejadian tersebut tidak berarti membuat semangat NEMESIS mati, malah membuat kinerja antar personel menjadi solid.

Pada bulan Maret 2008, lagu About Eve masuk "funhouse" untuk direkam. Rencananya demo tersebut digunakan untuk materi lagu kedua yang dimasukkan kedalam CD Profile. Akhir maret 2008 'About Eve' dikirim ke LAlights Indiefest 2008 sebagai proyek coba-coba, dengan penuh rasa pesimis bahwa genre Metal dapat masuk ke ajang seperti itu. Ternyata kenyataan berkata lain, NEMESIS masuk menjadi finalis 100 besar regional Bandung, yang kemudian menjadi finalis 30 besar regional Bandung, finalis 6 besar regional Bandung, dan akhirnya masuk sebagai Finalis 10 besar LAlights indiefest 2008. Penampilan NEMESIS pada acara final regional Bandung LAlights Indiefest 2008 di Sabuga bareng BURGERKILL, SERINGAI, EFEK RUMAH KACA, dan band-band finalis 6 besar regional lainnya memberi dampak yang sangat besar, masyarakat Indonesia menjadi tahu bahwa NEMESIS itu ada, khususnya di kota Bandung dan Komunitas Underground.

BANDUNG DEATH METAL SYNDICATE & SUNDA UNDERGROUND


Pertengahan tahun 2000an, scene musik Indoensia dibombardir oleh emocore. Hampir semua panggung pergelaran didominasi oleh hasrat music ini, bagaikan tak pernah akan ada lagi panggung untuk death metal. Prihatin dengan fenimena ini, para pionir Ujungberung Rebels semakin intens membincangkan fenomena yang memprihatinkan ini. Death emtal akan tenggelam jika para pionir diam saja menandangi kudeta panggung emocore atas detah metal itu. Maka ketika tak ada lagi panggung dari orang lain untuk death metal, para pionir sepakat untuk mulai memikirkan bagaimana menggarap panggung sendiri yang mementaskan hanya death metal saja. Tiga pionir yang kemudian mengeksekusi hasrat tersebut adalah Man, Amenk, dan Okid. Mereka sepakat menggarap Bandung Death Fest tahun 2006 yang mementaskan band-band death metal Ujungberung, Bandung, dan Indonesia. Bandung Death Fest 2006 digelar dengan sukses di bawah kerja sebuah kolektif bernama Homeless Grind.

Tahun 2007, ketika proses persiapan bandung Death Fest II, Homeless Grind berganti nama menjadi Bandung Death Metal Syndicate (BDMS). Ada beberapa perubahan penting yang patut dicatat di sini. Yangpaling jelas adalah komitmen anak-anak Ujugnebrung Rebels yang semakin tinggi terhadap kebudayaan tradisional, dalam hal ini Kasundaan. Man saat itu membuat logo BDMS bergambar dua kujang yang saling bersilang dengan semboyan yang fenomenal Panceg Dina Galur. Komitmen Kasundaan juga dibuktikan dengan dimasukkannya pencak silat dan debus sebagai pertunjukan plus dalam Bandung Death Fest II. Saat ini pula BDMS mulai kenal dengan Kang Utun, salah satu aktivis lingkungan hidup dan Kasundaan yang kemudian semakin membukakan gerbang adat kepada para metalhead muda kita.

Masa inilah Ujungberung Rebels semakin dekat dengan kelompok-kelompok Kasundaan di Bandung. Mereka semakin sering menghadiri berbagai acara adat dari pabaru Sunda, Rarajahan, Tumpek Kaliwon, atau hanya kongkow-kongkow santai membincangkan berbagai hal ngalor-ngidul. Atas keikutsertaannya dalam berbagai acara adat, Ujungberung Rebels kemudian sering dijuluki juga sebagai Kelompok Kampung Adat Sunda Underground. Komitmen Kasundaan semakin menyala-nyala ketika akhirnya berdiri Karinding Attack yang beranggotakan Man, Amenk, Kimung, Jawish, Gustavo, Ari, dan Kimo selain juga Kang Utun, mang Engkus, dan kang Hendra yang mewakili kelompok adat Kasundaan.

Di sisi lain BDMS semakin nyata menunjukkan taringnya ketika berhasil dengan mansi dan kreatif berkolaborasi dengan pihak tentara ketika menggelar Bandung Death Fest III 9 Agustus 2008 yang memapu menyedot penonton hingga 15.000 metalhead muda. Fenomena yang sama juga terulang tanggal 17 Oktober 2009 ketika BDMS menggarap Bandung Death Fest IV kembali di Lapangan Yon Zipur. Patut dicatat pula, dua pergelaran terakhir itu adalah kolaborasi Ujungberung Rebels dengan scene komunitaas kreatif bandung yang termaktub dalam pergelaran bersama Helarfest 2008 dan Helarfest 2009.

HOMELESS CREW

Kultur festival yang dirasa kurang bersahabat membuat gerah segelintir musisi muda. Dalam festival mereka harus memenuhui banyak syarat yang intinya adalah sama : menuntut band untuk menampilkan wajah sama, bermanis muka agar menang di depan sponsor atau produser. Hal itu memangkas semangat ekspresi rock/metal juga semangat terdalam dan manusiawi dalam diri seorang seniman untuk berkarya. Dengan kesadaran baru itu gelintiran musisi muda Ujungberung maju dan merangsek jalanan.


Di saat yang sama, generasi baru di bawah anak-anak Badebah mulai berkumpul dan membentuk kelompok pecinta metal ekstrim semacam Badebah. Mereka menamakan diri Bandung Lunatic Underground (BLU) yang didirikan secara kolektif oleh Ipunk, Romy, Gatot, Yayat, Dani, Bangke, dan lain-lain. Seperti halnya Badebah, BLU menampung banyak hasrat music dari metal, hardcore, hingga punk. Di bawah BLU, pengembangan jaringan pertemanan para pecinta metal semakin meluas saja. Music metal ekstrim juga semakin ramai dengan terbukanya GOR Saparua untuk pergeralan-pergelaran music ekstrim.

Di Ujungberung sendiri, perkembangan musik ekstrim didukung oleh Studio Palapa, sebuah studio music milik Kang Memet yang dikelola oleh duet maut Yayat dan Dani. Studio ini kemudian menjadi kawah candradimuka band-band Ujungberung hingga melahirkan band-band besar, kru-kru yang solid, dan musisi-musisi jempolan. Studio Palapa juga yang kemudian melahirkan rilisan-rilisan kaset pertama di Indonesia. Mereka merekam lagu-lagu dengan biaya sendiri, mendistribusikan sendiri, melakukan semua dengan spirit Do It Yourself. Dari sepuluh band independen di Indonesia yang tercatat Majalah Hai tahun 1996, tiga di antaranya berasal dari Ujungberung. Mereka adalah Sonic Torment, Jasad, dan Sacrilegious. Label dan perusahaan rekaman yang mereka kibarkan adalah Palapa Records.


Sayang dinamika ini berbanding terbalik dengan BLU. Tahun 1994, organisasi pecinta music ekstrim ini terpecah ketika scene metal semakin ramai. Setidaknya, kelompok ini terbagi tiga, yaitu Black Mass yang terdiri dari anak-anak black metal, Grind Ultimatum yang terdiri dari anak-anak grindcore, dan sisanya, kebanyakan anak-anak Ujungberung yang lebih terbuka dan inklusif dalam mengapresiasi music, membentuk Extreme Noise Grinding (ENG) awal tahun 1995. Yayat adalah tokoh sentral ENG.

Propaganda awal ENG ada tiga, yaitu membuat media komunitas musik metal bawahtanah, membuat pergelaran music metal sendiri, dan mebentuk kru yang mendukung performa band-band Ujungberung. Manifestasi dari propaganda media adalah berdirinya Revograms Zine yang dibentuk oleh Dinan pada April 1995 dengan tim redaksi yang terdiri dari Ivan, Kimung, Yayat, Dandan, Sule, Gatot. Manifestasi dari propaganda pergelaran sendiri band-band Ujungberung adalah digelarnya acara Bandung Berisik Demo Tour yang lalu dikenal sebagai Bandung Berisik I. Di acara ini lima belas band Ujungberung unjuk gigi, ditambah bintang tamu Insanity dari Jakarta. Tahun 2004 kelak, bandung Berisik IV di Stadion Persib dicatat oleh Time Asia sebagai pergelaran music bawahtanah terbesar di Asia setelah berhasil menyedot audiens sebanyak 25.000 metalhead dari seluruh Indonesia.

Sementara itu, manifestasi dari propaganda kru band adalah dengan terbentuknya Homeless Crew. Ini merupakan kelompok musisi-musisi muda yang aktif mempelajari seluk beluk sound system dan teknis pergelaran sebuah band dengan cara belajanr langsung menjadi kru band kawan-kawannya. Pada gilirannya, Homeless Crew tak Cuma berperan sebagai kru yang vital bagi sebuha band, tapi juga menjadi gaya hidup anti-mapan ala anak-anak Ujungberung yang menolak untuk “berumah”. Gaya hidup anti-mapan ini bukan hanya ada di alam pikiran anak-anak Ujungberung, namun benar-benar mereka amalkan dengan keluar rumah, bergabung dengan kelompok mereka untuk tinggal bersama di jalanan. Para pencetus Homeless Crew adalah Yayat, Ivan Scumbag, Kimung, Addy Gembel, dan tentu saja sang radikal, Dinan.

BIROKRASI KOMPLET MOTHERFUCKER!


Ketika komunitas kreatif Bandung beristighfar dan menjadikan insiden AACC sebagai ajang introspeksi dan konsolidasi ke dalam dengan berkomitmen melakukan perubahan, terutama pembelajaran mengenai kultur musik metal dan underground terutama kepada kaum-kaum muda, malah merebak isu-isu yang meresahkan komitmen itu. Isu-isu mengenai pencekalan, masalah perizinan, standarisasi EO, diskriminasi musik, merebak meresahkan. Dalam logika sederhana, pembelajaran mengenai kultur musik metal harus diaplikasikan dalam metode sederhana : bermusik dan berkecimpung di dunia musik. Namun, bagaimana bisa belajar dengan baik jika ada teman sebelah kita yang nggak punya kerjaan terus menerus merongrong mengganggu?

Baru-baru ini saya ngadu bako sama kawan-kawan. Kebanyakan mengeluh mengenai masalah perizinan. Beberapa hari sebelumnya ada anak-anak SMA yang curhat kalau pensi mereka di-cut lantaran prosedur yang ada tak ditepati. Beberapa minggu sebelumnya mereka sibuk dengan counter opini di media2, dan sebulan sebelumnya, 9 Februari 2008, sebuah insiden terjadi di Gedung AACC. Ngumpul danbertukar kisah adalah hiburan bagi kami.

Salah satu kawan bercerita, ia juga terganjal masalah izin ketika akan mengadakan sebuah acara reguler di rumahnya. Dengan heran ia bertanya :”Acara-acara aing, di imah aing, make duit aing, nu riweuh aing, naha ulah nya?” Kawan saya yang lain, yang juga acara-acaanya nggak jadi digelar krn perizinan, bertanya dengan nada yang sama. Kami manggut-manggut saja dengan prihatin. Keprihatinan kami semakin dalam ketika ada kabar bahwa sebuah diskusi telah digelar di sebuah tempat terkemuka, oleh tokoh yang katanya terkenal (tapi saya ga tau dia), dan hasilnya mereka membuat sebuah rempugan. Forum yang mengatur standarisasi EO. Jadi untuk menggelar sebuah acara, penyelenggara hrs sesuai standar forum ini. Duh, saya pikir kayak zaman VOC aja, maen monopoli.

Dalam benak kami muncul hal-hal lucu. Kami bayangkan kalo acara pendidikan, workshop, seminar, bedah buku, dll.dll.dll. berarti harus izin ke dispen selain ke polisi, dan desk-desk dan sebagainya di pemerintahan dan lain-lain, selain ke forum tersebut. Kalo acara musik harus ke disbudpar (?) terus ke polisi, dan desk-desk dan sebagainya di pemerintahan dan lain-lain, selain ke forum tersebut. Kalo acara breketeketeketek harus ke dinas breketeketeketek. “Heuh! Iraha nyieun acarana atu mun terus nguruskeun masalah perizinan mah!” keluh kawan saya. Pusing? Sama, saya juga pusing!

Pembicaraan juga merambah ke isu perizinan litas sektoral. Jadi jika band YYY asal kecamatan QWERTYU provinsi ASDFGHJ akan manggung di kecamatan LKJHGFDS provinsi POIUYTR, maka ia harus memiliki rekomendasi dari polsek kecamatan QWERTYU provinsi ASDFGHJ agar bisa manggung di kecamatan LKJHGFDS provinsi POIUYTR. Kalo rekomendasi terhadap band YYY asal kecamatan QWERTYU provinsi ASDFGHJ sudah keluar barulah band band YYY asal kecamatan QWERTYU provinsi ASDFGHJ bisa manggung di kecamatan LKJHGFDS provinsi POIUYTR. Pusing? Sama, saya juga pusing!

“Aneh aing mah, pan maranehna teh digajih ku duit aing, gawe maranehna teh kusuna ngagampangkeun urusan aing, naha jadi hararese kieu nya?!” Nya, lur. Tapi mereka adalah orang-orang yang menganggap suatu yang gaya bukanlah suatu yang sederhana, tapi yang rumit-rumit. Mereka begitu pintar mengurai masalah, tapi selalu gagal melihat sesuatu secara sederhana dan utuh. Seorang kawan lain nyeletuk, geus kudeta weh! Tapi mau ngudeta apa ya? Negaranya aja nggak ada..

*by Kimun666 (Penulis dari Minor Bacaan Kecil)

Bandung Masuk 5 Besar Dunia Komunitas Musik Underground


Beside, yang menggelar konser launching albumnya Sabtu lalu (9/2/2008) di AACC, merupakan satu dari
sekitar 200 grup musik underground di Kota bandung.
Besarnya jumlah itu menjadikan Bandung
masuk jajaran lima besar komunitas
underground terbesar dalam skala internasional setelah Amerika, Jerman, Inggris
dan Belanda. Demikian disampaikan pengamat musik underground, Reggi Kayong
Munggaran, saat dihubungi detikbandung, Senin (11/2/2008). “Berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah
dilakukan orang luar negeri tentang subkultur di Bandung.
Ternyata Bandung memiliki animo yang cukup besar terhadap musik underground,
hingga menempati posisi ke lima
komunitas terbesar undrground di dunia,” tutur Reggi.
Menurut Reggi, besarnya animo
masyarakat, anak muda khususnya, terhadap musik underground merupakan
kecenderungan yang aneh. Begitupun menurut negara-negara lain penganut
subkultur yang sama. Musik underground sendiri, lanjut reggi, merupakan budaya
cangkokan. Dimana dalam proses pencariannya membentuk kultur memberdayakan diri
sendiri dan komunitas. Berangkat dari pemikiran itulah, para pelaku musik
underground memiliki etos kerja ””Do it Your Self”. Karena musik
underground merupakan musik subkultur bukan musik mainstream, dimana tidak
semua orang bisa menikmati, tidak semua orang bisa melihat. Sehingga untuk
tetap menjaga eksistensi musik ini harus dilakukan sendiri. “Grup
underground membuat konser sendiri, show sendiri, kecenderungannya lebih
eksklusif karena kapitalisme sudah mengakomodasi musik itu sendiri. Kalau musik
seperti ini siapa yang mau mendengar, studio mana yang mau membuat rekaman.
Kecuali oleh orang-orang yang memiliki kecintaan terhadap musik underground,” jelas Reggi.
Reggi mengatakan, dari sekian banyaknya grup musik underground di kota
Bandung, sudah banyak yang
melebarkan sayap ke luar negeri, seperti Eropa. Hal itu bisa terjadi ketika ada
orang asing yang tertarik melihat
subkultur di kota Bandung,
sehingga mereka pun melakukan penggalangan dana untuk membawa musik underground
Bandung bermain di dunia
internasional. Menyinggung mengenai pandangan masyarakat tentang musik
underground yang seringkali diidentikkan dengan kekerasan Reggi menuturkan,
para pelaku musik underground pasrah tapi tidak cenderung apatis. Untuk
mencairkan opini masyarakat, mereka seringkali mengadakan kampanye anti
kekerasan. “Ke depannya, kami akan melakukan kampanye anti HIV AIDS dan
anti narkoba,” tambah Reggi.

GRINDING PUNK CORPORATION


GRINDING PUNK CORPORATION

Oleh Kimun666

Sejak awal kemunculannya awal tahun 1990an, punk di Bandung disemarakkan oleh band-band yang identik dengan Sex Pistols, Ramones, dan Exploited. Kemunculan band-band ini seiring dengan makin maraknya simbol-simbol punk yang diadopsi para punker Bandung. Lambang-lambang seperti huruf ‘A’ atau ‘NRQ’ yang merupakan simbol dari ideologi ‘anarchy’, atau tulisan ‘chaos’ tampak mendominasi seluruh atribut punk, mulai dari jaket kulit berspike, jins ketat dan boots, hingga rajah di seluruh badan. Semarak ini semakin dibuaskan oleh pemberitaan media yang selalau menganggap musik punk sebagai musik kesetaraan. Musik for you and me, di mana semua orang harus dapat menyanyikannya bersama-sama dan karenanya, musik punk rata-rata dikemas sangat sederhana. Tiga atau empat jurus, beres. Stereotip inilah yang kemduian berkembang pesat secara musikal. Yang lolos dari pemberitaan media mengenai punk adalah satu : tak digalinya konsep ‘chaos’ dan ‘anarchy’ itu sendiri yang seharusnya menjadi state of mind para punker. Melalui Grinding Punk Corporation, Butchex dkk mencoba mendobrak paradigma itu.

***


Adalah Butchex The Cruels yang baru saja memecat seluruh personilnya tahun 2000an ketika ia datang ke Studio Pieces dan mengadukan kekecewaaannya kepada Dani Jasad. Butchex melihat pola berpikir semua punker Bandung telah terbentuk oleh pemberitaan media massa yang cenderung status quo. Bahwa musik punk itu haus gini, yang gini loh yang musik punk, yang sederhana, tak lebih dari tiga atau empat jurus hingga orang-orang dapat dengan mudah memainkannya, kord-kord dan riff-riffnya juga tak njelimet hingga tak butuh energi banyak dalam menciptakan lagu dan memainkannya. Asal pesan dalam lirik sudah terpenuhi maka sudahlah, beres. Mindset itulah yang diciptakan media mengenai punk dan segera menjadi stereotip. Yang lalu cenderung dilupakan punker adalah esendi ideologi punk itu sendiri : ‘chaos’ dan ‘anarchy’.
Bagi Butchex, ‘chaos’ dan ‘anarchy’ adalah sebuah kondisi tanpa aturan, di mana tak ada satupun bisa menguasai dan mengatur hidup individu. Individu berbebas berkehendak tanpa harus ada aturan-aturan yang mengekang hasrat mereka, apalagi dalam bermusik. Hasrat bermusik Butchex adalah memainkan musik ekstrim sekencang-kencangnya dan mengekspresikan dirinya sebebas-bebasnya melalui The Cruels. Kekecewaan Butchex berlipat-lipat ketika tak ada satu punker pun yang bisa mengejar hasrat musik yang Butchex impikan, juga ketika mereka lalu menggugat, “Naha punk teh kieu Butch? Jiga grindcore ieu mah?” Hingga saat itu yang selalu Butceh inginkan adalah menjawab dengan teriakan, “Punk mah kumaha aing atuh, anjing! Bebaskeun!” Namun yang lebih ia inginkan adalah membentuk sebuah band, bukan menjawab pertanyaan konyol itu. Dan kekecewaannya semakin berlipat ketika menerima kenyataan para punker yang ia temui tak bisa mengejar kekencangan musik ekstrim yang ia impikan.
Maka alam curhatnya, Butchex mengajak Dani, Opik, dan Komenx—semuanya adalah musisi death metal dan black metal—untuk membantunya membentuk pola awal musik The Cruels. Konsepnya melenceng dari punk secara umum di Indonesia : punk attitude dengan ekspresi musik seekstrim mungkin.
Musim gugur 2001, The Cruels mulai menggarap album mereka yang kelak kita kenal sebagai album Hollow Horror. Selain lagu-lagu sendiri, The Cruels juga membawakan lagu Jasad dari album C’Est la Vie, “Whole System Fuck”, lagu Keparat “Police Shit”, serta mendaur ulang lagu Metallica, “Whiplash”, yang sempat masuk kompilasi Tribute to Metallica. Dalam memperkuat imej ekstrim dalam musiknya, Butchex juga mengajak kawan-kawannya di scene metal Ujungberung untuk ikut menambah kekentalan ekstrim musiknya. Mereka adalah Toteng Forgotten, Amenk Disinfected, Addy Gembel, dan Ivan Scumbag. Pun dalam artwork, Butchex mempercayakan penggarapannya kepada para musisi grindcore, Gustavo dan Dittorture. Logo The Cruels sendiri dibuat oleh Opick Dead Cryptorium Inc., sangat berbau metal ekstrim.
Tak cuma bermain di ranah konsep musik dan artwork album, Butchex juga mengambil tema lirik yang tidak standar punk Bandung dalam albumnya yang kemduian bertitel Hollow Horror dan dirilis oleh Arrack Records itu. Butchex juga bermain di termin lirik. Ada dua belas lagu yang direkam The Cruels saat itu. Sebagian besar lirik merupakan hasil kolaborasi Butchex bersama kawannya di Homeless Crew, Kimung, yang kemudian ia olah ulang. Lagu-lagu The Cruels yang direkam saat itu adalah “Dancing”, “Whole Systems Fuck”, “Police Shit”, “Chemical Inc.”, “Life Sucks Scum Fuck”, “Kill Racist”, “Death’s Line”, “Hollow Horror”, “Sign”, “Ripped… My Soul”, “I’m the Hate”, dan “Whiplash”. Dari keterbukaan Butchex kepapa lirik-lirik yang dibuat Kimung, dapat dilihat jika The Cruels sejak awal memang punk rock yang menyimpang di Indonesia. “Dancing”, misalnya adalah lagu tentang ‘asap biru sabu-sabu yang menari bolak-balik di track alumunium foil’. Atau “Chemical Inc.” yang jelas lagi-lagi berkonotasi penggunaan kimia. Atau “Sign’ yang menceritakan tanda-tanda yang mendukung sugesti atas sebuah fenomena yang akan atau sedang kita jalani. Lirik-lirik dekonstruksi ini dikemas Kimung sebagai puisi-puisi bergaya beat yang ia buat selagi tak sadar dan dalam pengaruh drugs, yang kemudian diterjemahkan Butchex secara brilian dalam bahasa global musik punk rock dan jalanan : pemberontakan.
Yang paling kentara sebagai penyelenehan punk The Cruels, tentu saja musik yang digarap trio Dani-Opick-Komenk. Ini sama sekali bukan beat-beat punk, tapi whaddafukkinhell! Punk adalah chaos dan kebebasan dan dua hal itulah yang dieksplorasi The Cruels, para punker sebenarnya. Musik dalam Hollow Horror adalah brutal death metal sederhana atau straight grindcore atau mungkin punk njlimet dan super cepat. Musik ini pada dasarnya adalah formula yang dirumuskan Butchex sejak awal ia berkomitmen membangun sebuah band punk rock. Formula musik ini pula yang tak lama kemudian menggugah sel baru punk rock Ujungberung Rebels untuk bangkit : Grinding Punk Corporation. Dalam bagian belakang cover Hollow Horror, di tengah kolase Comerads of Hate, Butchex memajang tulisan provokatif “It’s Punk Grinding Time!!!”

***

Rilisnya Hollow Horror oleh The Cruels merupakan sebuah tonggak baru dalam dinamika musik Ujungberung Rebels, terutama punk. Hollow Horror adalah sebuah terobosan baru dalam memainkan musik punk. Musiknya grinding yang rapat dengan ketukan hypercan ditingkahi lirik-lirik sangat kental pemberontakan yang dilafalkan dengan cara growling dan screaming. Tapi ini bukan grindcore. Ini jelas adalah punk. “Punk bukan cuma ‘dugtakdugtak’ atau musik tiga jurus beres, Man.. Punk itu pemberontakan! Termasuk memberontak ke pola-pola mainin musik punk yang udah mapan. Inilah punk kami! Tong maenkeun musik nu kitu-kitu wae, lah! Mainin sesuatu yang beda!” begitu seru Butchex. Hal yang juga senada dicetuskan Apuy, scenester The Black Evil Saraf Timur Squad dari Cicalengka, vokalis band Tikus Kampung, yang kemduian bersekutu dengan Butchex. Pertama kali mendengar Hollow Horror, Apuy merasa satu ekspresi dengan Butchex. Ia merasa sangat cocok dengan musik yang dimainkan The Cruels karena bandnya, Tikus Kampung memiankan musik yang kurang lebih berpola sama dengan Hollow Horror, juga berideologi sama dengan Butchex dalam memandang punk.
Tikus Kampung dan The Cruels pun segera bersekutu membentuk sebuah kelompok band-band beraliran grinding-punk. Ujungberung dalam hal ini segera menjadi episentrum tempat kelompok yang kemudian perlahan menggasak jalanan itu. Butchex dan Apuy menamakan kelompok mereka Grinding Punk Corporation, sebuah kelompok yang terdiri dari band-band punk yang memainkan musik mereka dengan cara grinding. “Lain rek so’ eksklusif, misahkeun diri ti scene punk nu geus aya. Tapi, nya ieu urang-urang. Punk nu grinding. Punk nu tarik. Grinding Punk Corporation nyoba ngumpulkeun band-band nu sajenis, mere wadah keur berkarya babarengan” tandas Apuy. Yang kemduian Apuy rujuk sebagai “urang-urang’ adalah enam band grinding-punk : The Cruels, Tikus Kampung, Sedusa, Carnaval of Anaconda, Sick Man from Egypt, dan Pemberontak.
Sebagai manifestasi pemberontakan mereka pada kaidah-kaidah punk yang sudah mapan, Grinding Punk Corporation menggelar sebuah gig yang menampilkan band-band punk yang khusus mengekspresikan musikalitas mereka dengan cara-cara yang grinding dan ekstrim. Sekitar dua puluh band grinding-punk menghajar venue Ultimus tahun 2005. Yang unik, Grinding Punk Corporation kemudian tak lantas membakukan diri sebagai status quo, sebuah organisasi, atau bahkan komunitas. Bahkan tak selintas pun sepertinya ada di kepala masing-masing mereka yang ada di dalam Grinding Punk Corporation. Karenanya kelompok ini tak punya markas, tempat nongkrong, base camp, atau hal fisik apapun yang menunjukkan mereka eksis. Namun demikian, secara intens mereka saling berkomunikasi, bertukar informasi melalui imel, atau sekedar smsan untuk saling bertemu. Siapapun yang tertarik kepada kelompok pemuja kebebasan ini silahkan bebaskan dirimu dan cari informasinya di www.myspace.com/grindingpunkcorporation.

Manifesto Bandung Death Fest 4 -17 Oktober 2009, Sabtu Lap.Yon Zipur 9 Ujungberung, Bandung


Semuanya berawal dari sebuah kondisi ketidak jelasan dan kegamangan kami mensikapi kenyataan. Ketika mereka berbicara tentang rencana kota ini dijadikan sebagai proyek ‘Kota Kreatif ’. Ketika mereka asik berbagi teori dan argumen tentang bagaimana seharusnya membangun ‘kota kreatif yang bermartabat’, sementara persoalan mendasar di level akar rumput sama sekali tidak mereka sentuh.

Kamis 15 Oktober 2009 pukul 1.09…dan saya yakin akan terjadi sebuah perubahan besar dalam hidup saya dan kawan-kawan lainnya di Ujungberung. Terhitung mulai hari ini hingga dua hari kedepan kami akan berjumpa kembali dengan sebuah pertarungan antara hidup dan mati. Pertarungan menyangkut idealism dan keyakinan. Sebuah pertempuran besar yang mungkin hanya akan dicatat oleh individu-individu yang sadar akan pentingnya sebuah catatan sejarah. Sejarah senyap yang mungkin juga tidak bernilai apa-apa bagi kebanyakan orang. Hanya menjadi dongeng biasa yang sifatnya selintas dan sepi makna.

Pagi ini kembali saya harus merapal keyakinan. Bersama senyap, rintik hujan dan kepul asap rokok. Keyakinan yang sama seperti 15 tahun yang lalu. Merangkai cita-cita yang masih sama seperti saya masih terdampar di jalanan. Sederhana saja cita-cita kami. Kami hanya ingin bermain musik dengan tenang, berkumpul, berteman, berbagi informasi dan ilmu pengetahuan. Menyalurkan ekspresi kami dengan aman.Menjadi bagian dari aneka warna-warni pelangi.

Dan keyakinan itu semakin menguat tatkala ditengah jalan kami mengalami banyak hambatan. Cita-cita itu justru semakin menguat tatkala kami berjumpa dengan kawan-kawan yang bernasib sama. Bahwa kami di cap biang perusuh dan ekspresi budaya kami dianggap mempunyai potensi ancaman bagi peradaban mapan. Bahwa event yang selama ini kami gelar dianggap sama dengan event-event lainnya yang berorientasi pada keuntungan dan selalu melibatkan sponsor-sponsor korporasi besar.
Bahwa apa yang kami buat selama ini lebih berorientasi kepada ‘mewadahi’ potensi energi kreatif yang ada dalam komunitas kami. Mencoba menghias wajah kota dengan ekspresi estetika. Wajah kota yang kini sudah sumpek oleh papan megatron dan aneka rupa bilboard.

Dalam hal ini tentu saja potensi kreatif di bidang musik. Bukankah semua itu sudah seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah? Itu pun jika memang kami masih menganggap bahwa pemerintah itu ada. Konser-konser yang biasa kami gelar adalah murni swadaya dan kolektif untuk menghindari kooptasi terhadap kultur yang sudah kami bangun dengan susah payah. Menciptakan pilihan-pilihan baru dan sikap-sikap alternatif. Etos kemandirian yang coba kami wujudkan dalam berbagai sisi kehidupan.

Hingga hari ini kami masih yakin dan percaya pada cita-cita kami. Hari ini kami merasa makin kuat dan tak bisa dikalahkan oleh apapun. Kami tahu mereka sedang menyiapkan sesuatu untuk kami. Aturan yang mengekang kebebasan berekspresi, hukum yang lebih memihak para pemodal dan aparat bermental korup dan diskriminatif.

Sel-sel klandestin yang sudah lama terbentuk hari ini kami aktifkan kembali. Jaring-jaring perlawanan yang mendominasi dihampir sudut kota ini kita bangunkan kembali. Solidaritas dan nilai pertemanan yang kuat kita galang kembali. Kali ini kami buat lebih massif, lebih seporadis dan lebih simultan Semua atas nama hasrat dan kecintaan. Kecintaan pada bagaimana caranya kita lepas dari dunia yang sangat membosankan ini. Lewat sebuah ekspresi budaya yang telah sanggup membebaskan kita dan memberi pemaknaan yang berbeda pada hidup ini